Saturday, 25 April 2020

Aku Angkuh

Aku sombong, terlalu sering sombong sebagai seorang anak, sebagai anak orang dan sebagai anak pertama.
Aku begitu angkuh terhadap beberapa kepandaian yaitu ilmu, pengalaman dan pendidikan.

Kadang kala, diri ini menganggap apa yg mereka lakukan itu 90% salah dan kadang kala diri ini mau membentak dengan suara yg cukup tinggi, bahkan sampai urat dileher dan dikepala muncul sebagai isyarat, sangking geramnya.

Sombong diri ini tidak terlepas dari bangku pendidikan yg sedang ditempuh. Membuka pola pikir dan wawasan atas banyaknya ilmu yg ku dapati dibangku perkuliahan ini. Jadi mereka yg tidak setara itu harus berdebat sengit untuk memberitahu ku, bahkan berulang kali kejadian itu memuncak.

Belum bisa berbuat banyak, namun sudah terbiasa berkomentar banyak.
Seakan-akan diri ini serba tau dan mereka serba salah.
Angkuh yg begitu pekat hingga membuat lupa diri, lupa akan orang-orang yg telah berkorban waktu dan tenaga untuk aku sampai dititik ini, tapi yg ku hadiahi ke mereka hanyalah kekecewaan semata yg selalu mereka tutupi dengan senyum tulus.

Terlalu sering mulut ini melukai hati mereka. Seakan-akan untuk sampai diposisi sekarang mereka tidak banyak berjasa, ternyata kesombongan ini yg melupakan semua jerih payahnya.
Aku lupa diri, sebab diri ini angkuh.

Bertekad sebisa mungki memaksakan diri untuk mengingat setiap pengorbanan mereka, tanpa mereka aku hanyalah jarum kompas tanpa magnet, yg tak tau arah dan tujuan.

Timbul rasa penyesalan mendalam, walaupun terlambat. Aku yakin mereka sangat ikhlas memberi maaf untuk anaknya yg berada di fase mencari sosok jati dirinya. Yakin akan hal itu.
Kini aku harus percaya bahwa sesederhana apapun orang tuamu, mereka tetap sosok pahlawan sejati di setiap detik kehidupanmu serta sehebat apapun kau, sekaya apapun kau sekarang, kau tetaplah anak kecil dimata kedua orang tuamu.

Jasa teman dan sahabat mungkin bisa kau balas dengan pundi-pundi nomimal.
Namun tidak dengan jasa ayah dan ibumu.

Tuesday, 7 April 2020

Ada Yang Tak Lazim

Kumandang Adzan berkumandang, menandakan waktu rebahan telah usai.
Meninggalkan zona nyaman untuk melengkapi kewajiban sebagai insan, bergegas menuju rumah ibadah terdekat dengan stelan sarung menutupi badan, layaknya ninja yang enggan kepanasan.

Melangkah masuk ke dalam dengan kondisi pintu yang sudah membuka. Sebelumnya memang sudah di infokan untuk membawa sejadah dari rumah masing-masing, tapi diri ini masih menolak membawa dan lebih berkeinginan untuk mengetahui kondisi terkini secara langsung.

Aku bukanlah seorang yang alim, memiliki keimanan tinggi, bukan! Tapi melihat kenyataan yg terpampang didepan mata mulai dari tempat sujud yang tidak sama rata, shaf yang berjarak; tidak rapat seperti biasanya menjadikan sebuah tanda tanya besar.
Haruskah begini?
Semua tampak berbeda seperti sedia kala.
Seakan-akan agama ku terprovokasi dengan sebuah virus yang menular dan berbahaya ini, tapi di balik itu semua, inilah kesepakatannya. Sekelas MUI hingga di Mekkah sekalipun begitu, apalah aku yang jauh dari kepintaran ini.

Di dalam diri ini terlintas sebuah pertanyaan, apakah ini wajah dari akhir zaman? Maaf lancang.
Atau apakah semesta dan pemiliknya sudah enggan dengan kekacauan yang ada di muka bumi?
Aku nggak bakalan tau jawabannya kenapa, tetapi yang aku pahami hanyalah semesta dan pemiliknya menuntut setiap insan untuk bertaubat atas segala ketamakannya.
Mungkin itu.

Buat semesta yang ingin ku telusuri, lekas membaik.
Aku marah dengan kerusakan sana-sini tanpa bisa aku perbaiki.
Semoga masih ada kesempatan untuk menuju perbaikan dengan datangnya bulan Ramadhan.

Ramadhan ini bakal kembali seperti sedia kala, InsyaAllah. Aku yakin itu.

Berisi Ekspetasi Tinggi

Gelap. Cahaya yang sedang di perjuangkan belum bisa bersanding. Gagal. Berkali-kali hingga ratusan kali pun belum membuahkan hasil yang di i...