Tuesday, 8 November 2022

Berisi Ekspetasi Tinggi

Gelap. Cahaya yang sedang di perjuangkan belum bisa bersanding. Gagal. Berkali-kali hingga ratusan kali pun belum membuahkan hasil yang di inginkan. Putus Asa. Ia hampir melampaui sisa semangat yang ada. Tidak tahu kondisi seperti ini sampai kapan berakhir dan kemana perjuangan ini hendak di upayakan. Dari skala nasional hingga multinasional sudah di coba, tersadar sejenak, ah pengalaman saja belum punya bagaimana mau berkompetetisi di korporate sebesar itu. Termasuk start up, jelas-jelas ini membutuhkan banyak lowongan, IT dan sejenisnya dan sialnya aku tidaklah berlatar belakang itu. Pendidikan ku Ilmu Pemerintahan yang harus berhadapan dengan lulusan IPDN yang sudah punya bekal kompeten serta kualitas papan atas, udah siap jadi mertua favoritelah bisa dibilang gitu. Yaudah, berangkat dari kejadian lalu yang di jadikan pembelajaran, kesampingkan dulu gelar dan gengsi. Coba apa yang nyangkut aja, apapun itu. Sekelas OB, Waiters, Bagian gudang semua udah di jabanin. Namun oh namun, masih tak kunjung jumpa dan cocok. Ada apa ini? Dimana letak kesalahan yang ku perbuat? Hening. Perlahan tersentak. 'Aku hanya mengandalkan usaha semata dan beribadah seperlunya saja, aku lupa ada banyak ibadah sunnah yang mampu menyelesaikan semua masalah di muka bumi, terutama ketengana hati dan terhindar dari was-was' Ya Tuhan. Aku hampir tidak di buat berdaya ketika mengingat kekurangan itu dimasa perjuangan ku di tanah perantauan. Dimana, aku tidak bisa hanya mengandalkan usaha dan ibadah wajib semata, harus ada pengorbanan lebih untuk itu semua. Aku bersyukur sempat di kelilingi orang-orang paham agama dan mencoba mengajak ku untuk melakukan sunnah, setidaknya aku dapat suri tauladan yang baik dan pahala jariyah bagi dia.

Friday, 1 May 2020

Merendah Vs Apa Adanya

Ada beberapa cerita yg menjadi referensi dibalik judul diatas, cerita pertama yang bertemakan merendah diri terhadap orang lain. Cerita yang  bersumber dari sekitar. Lalu, cerita kedua yang menjadi lawan dari cerita pertama, yaitu apa adanya. Bersumber dari pemikiran sederhana diri sendiri.
Kali ini hanya ingin membandingkan konsep dari 2 hal tersebut dan ini bersifat multipendapat.

Mengulas yang pertama, merendah diri kepada orang lain atau siapapun yang kau temui adalah suatu taktik cukup ampuh untuk sebuah pergerakan awal ; memanipulasi / menyembunyikan beberapa informasi berharga tentang siapa kita sebenarnya, sehingga dimata orang lain kita itu hanya berada dibawah standar dan bisa jadi dianggap seseorang yg kulot serta mudah diremehkan, tapi kembali lagi, ini hanya taktik.
Tujuannya hanya satu, mengundang decak kagum atau mungkin membungkam sang target dengan pola merendah lalu meroket dengan sendirinya, kiranya begitulah bahasanya.

Sedikit banyaknya aku pribadi mendukung konsep tersebut, tapi ada 1 hal yang kurang yaitu hal negatif yang terkandung didalamnya, yaitu berbohong dahulu. Kenapa harus ada kebohongan didalamnya, walaupun itu hanya bersifat sementara.
I dont like strategi !!!

Masuk ke konsep yang ke 2 apa adanya ialah tranparan soal apapun dengan pengorbanan harus mengesampingkan ego, sebab kita harus bicara seapa dan seadanya mengenai sebuah pertanyaan yang terlontar.
Kadang kala harus berfikir cermat sebelum memulai konsep ini karena rasa malu bakal menghantui jika salah melangkah dan fatal akibatnya, kau bisa minder dan kau bakal dijauhi.

Perbandingan menarik dan sengit mengenai konsep merendah diri dengan apa adanya, fifty-fifty. Tapi, yang namanya diri manusia pasti ada yang diunggulkan walaupun sama-sama menguntungkan.

Diri dan pribadi yang kacau ini membenarkan konsep apa adanya sebagai pilihan dan karena sesuai dengan tujuan hidup yang pengen berdiri tegak lurus ditengah kepalsuan sesama, itu berat.
Berbeda itu sebuah kedewasaan.

Kenapa tidak yang merendah?
"Padahal kau bisa membungkam kapanpun yang kau mau !" Memang benar, tapi kembali lagi disitu ada sisi kebohongan didalamnya, walaupun bersifat sementara tapi itu bakal mengarah kepada kebohongan-kebohongan besar lainnya

Saturday, 25 April 2020

Aku Angkuh

Aku sombong, terlalu sering sombong sebagai seorang anak, sebagai anak orang dan sebagai anak pertama.
Aku begitu angkuh terhadap beberapa kepandaian yaitu ilmu, pengalaman dan pendidikan.

Kadang kala, diri ini menganggap apa yg mereka lakukan itu 90% salah dan kadang kala diri ini mau membentak dengan suara yg cukup tinggi, bahkan sampai urat dileher dan dikepala muncul sebagai isyarat, sangking geramnya.

Sombong diri ini tidak terlepas dari bangku pendidikan yg sedang ditempuh. Membuka pola pikir dan wawasan atas banyaknya ilmu yg ku dapati dibangku perkuliahan ini. Jadi mereka yg tidak setara itu harus berdebat sengit untuk memberitahu ku, bahkan berulang kali kejadian itu memuncak.

Belum bisa berbuat banyak, namun sudah terbiasa berkomentar banyak.
Seakan-akan diri ini serba tau dan mereka serba salah.
Angkuh yg begitu pekat hingga membuat lupa diri, lupa akan orang-orang yg telah berkorban waktu dan tenaga untuk aku sampai dititik ini, tapi yg ku hadiahi ke mereka hanyalah kekecewaan semata yg selalu mereka tutupi dengan senyum tulus.

Terlalu sering mulut ini melukai hati mereka. Seakan-akan untuk sampai diposisi sekarang mereka tidak banyak berjasa, ternyata kesombongan ini yg melupakan semua jerih payahnya.
Aku lupa diri, sebab diri ini angkuh.

Bertekad sebisa mungki memaksakan diri untuk mengingat setiap pengorbanan mereka, tanpa mereka aku hanyalah jarum kompas tanpa magnet, yg tak tau arah dan tujuan.

Timbul rasa penyesalan mendalam, walaupun terlambat. Aku yakin mereka sangat ikhlas memberi maaf untuk anaknya yg berada di fase mencari sosok jati dirinya. Yakin akan hal itu.
Kini aku harus percaya bahwa sesederhana apapun orang tuamu, mereka tetap sosok pahlawan sejati di setiap detik kehidupanmu serta sehebat apapun kau, sekaya apapun kau sekarang, kau tetaplah anak kecil dimata kedua orang tuamu.

Jasa teman dan sahabat mungkin bisa kau balas dengan pundi-pundi nomimal.
Namun tidak dengan jasa ayah dan ibumu.

Tuesday, 7 April 2020

Ada Yang Tak Lazim

Kumandang Adzan berkumandang, menandakan waktu rebahan telah usai.
Meninggalkan zona nyaman untuk melengkapi kewajiban sebagai insan, bergegas menuju rumah ibadah terdekat dengan stelan sarung menutupi badan, layaknya ninja yang enggan kepanasan.

Melangkah masuk ke dalam dengan kondisi pintu yang sudah membuka. Sebelumnya memang sudah di infokan untuk membawa sejadah dari rumah masing-masing, tapi diri ini masih menolak membawa dan lebih berkeinginan untuk mengetahui kondisi terkini secara langsung.

Aku bukanlah seorang yang alim, memiliki keimanan tinggi, bukan! Tapi melihat kenyataan yg terpampang didepan mata mulai dari tempat sujud yang tidak sama rata, shaf yang berjarak; tidak rapat seperti biasanya menjadikan sebuah tanda tanya besar.
Haruskah begini?
Semua tampak berbeda seperti sedia kala.
Seakan-akan agama ku terprovokasi dengan sebuah virus yang menular dan berbahaya ini, tapi di balik itu semua, inilah kesepakatannya. Sekelas MUI hingga di Mekkah sekalipun begitu, apalah aku yang jauh dari kepintaran ini.

Di dalam diri ini terlintas sebuah pertanyaan, apakah ini wajah dari akhir zaman? Maaf lancang.
Atau apakah semesta dan pemiliknya sudah enggan dengan kekacauan yang ada di muka bumi?
Aku nggak bakalan tau jawabannya kenapa, tetapi yang aku pahami hanyalah semesta dan pemiliknya menuntut setiap insan untuk bertaubat atas segala ketamakannya.
Mungkin itu.

Buat semesta yang ingin ku telusuri, lekas membaik.
Aku marah dengan kerusakan sana-sini tanpa bisa aku perbaiki.
Semoga masih ada kesempatan untuk menuju perbaikan dengan datangnya bulan Ramadhan.

Ramadhan ini bakal kembali seperti sedia kala, InsyaAllah. Aku yakin itu.

Wednesday, 1 January 2020

Khayalan Nan Ambisius

Manusia yg berambisi tinggi itu sangat bagus, banyak dampak positif dan memberi kesan ia seseorang yg gigih. Manusia yg berkhayal juga bagus, bisa merancang dan mengagendakan sesuatu kedepannya.

Tapi bagaimana khayalan yg ambisius itu terlampau menguasai pikiran?
Sudah jelas itu menjadi beban tersendiri dan yg pasti terlalu semangat pun bakal mengganggu waktu buat istirahat.
Pikiran semangat tapi raga berupaya rehat beristirahat.

Dampak ambisi secara khayalan mampu membuat seseorang harus cepat menyelesaikan progress, enggan berlama-lama kerena deadline. Seolah-olah tiada hari esok yg bisa buat finishing terbaik ketimbang gegabah hari ini.

Ambisi itu selalu terfikirkan terus menerus, hingga kepanikan akan hadir untuk mengacaukan seperempat ide brilian tersebut. Semua kembali ke konsistensi dan pendirian masing-masing.
Harus pandai mencegah dan merawat.

Khayalan tersebut bertujuan untuk menjadi seperti orang-orang hebat diluar sana, bisa dibilang yg sudah sukses dan merdeka tidak terkecuali untuk menjadi pengikut garis keras.
Itu semua baik, kau dilatih untuk kecatan tapi kembali lagi menyadari seorang insan tetap membutuhkan waktu jeda berfikir dan beristirahat.
Jika semua itu kau kuras, lalu apa hikmahnya?
Mungkin ketidaknyamanan bersemayam ditubuh.

Friday, 20 December 2019

Seolah Aku Ini

Ibarat garis, rutinitas kehidupan cukup aman dan terkendali secara kebahagiaan. Bahagia itu perlu namun susah, susahnya ialah buat kau jumpai karena ia menyamar menjadi suatu kebaikan.
Kebahagiaan yg diterima cukup vertikal tapi tidak dengan kebaikan yg aku bagikan hanya sebatas horizontal.

Dalam mendalami suatu kejadian, tersadar akan sebuah rasa yg telah dicari keberadaannya, rasa syukur. dimana kau? Engkau berada dimana? Aku butuh ! Butuh kau untuk mensingkirkan semua perkara ini !
Tunggu aku sebentar saja, beri waktu untuk berdamai dengan jiwa dan ego ini, setelah itu bakal ku jemput paksa kau ke dekapan ku.

Jauh lebih mendalam, bagaimana rasa syukur itu hadir sementara berterima kasih saja aku enggan ?
Gawat ! Hal sekecil itupun terabaikan. Ntahlah.

Sudah, sudah cukup ! Ini bukan waktunya menyalahkan keadaan, itu sama saja dengan mematahkan semangat juang yg ada pada diri sendiri. Sekarang waktu untuk memperbaiki.
Aku sadar, bahwa ada sesuatu ketika aku lupa diri, merasa hebat dan congkak atas semua hal, padahal itu wujud nyata dari kurangnya rasa syukur dan ucapan terima kasih.

Sumber masalah sudah di dapati. Kini, waktunya mengoreksi dan bertekad untuk meminimalisirkan kesalahan yg lalu.
Tidak ada kata telat ataupun sejenisnya. Geraklah, sekarang ! Karena waktu bakal terus berdetak tanpa memikirkan kita ataupun kesalahan kita.

Friday, 27 September 2019

Lari bukan solusi

Semua orang pasti memiliki masalah dan semua masalah pasti memiliki solusi, pasti !
Kembali ke individu yg menjalani, takaran berat ataupun ringannya suatu masalah ada pada pemikirannya dan pengalamannya.
Jika kau sudah dewasa, pasti enteng rasanya ngadapin suatu masalah. Enteng disini dalam artinya menikmati proses dari sebuah pembelajaran yg terdapat di dalamnya dan bakal jadi sangat rumit jika kau masih kanak-kanak lalu dihadapi suatu masalah, mungkin rasanya ingin nyerah dan ingin mati saja.
Dewasa dan kanak-kanak itu diibaratkan sebagai pola pikir.

Kembali ke perihal mengeluh, yg kau lakukan sama sekali tidak mengurangi dan yg pasti tidak pula memperbaiki. Tidak baik mengkambing hitamkan keadaan sebab itu sama saja kau tidak menghargai waktu pemberian Tuhan.

Saranku, jika sudah tidak terbendung silahkan menangis,
Menangislah.
Jika itu sudah terjadi pastikan semua masalah ataupun tantangan tadi sudah siap untuk dilalui sebab ada tetesan air mata yg membasahi pipi, menangislah seperlunya sebab hanya kau yg tau batas itu sendiri.

Air mata yg menetes konon kabarnya mampu meredakan frustasi dan mumet yg ada, semuanya bakal kembali berwarna tapi dengan satu syarat krusial, yaitu setelah nangismu usai bangkitlah kembali.
Hidupkan kembali nyali yg sempat mati suri tadi.
Sebab, pasti masalah yg terjadi itu karena ulahmu sendiri.

Disitulah dirimu berproses untuk tidak lari dan tidak berbohong, salah satu darinya adalah fatal apalagi kedua-duanya kau lakukan secara bersamaan.
Lari dari masalah itu tipikal seorang pengecut.
Berbohong akan suatu keadaan adalah kekeliruan besar.
" Dirimu hebat, ia tak mudah untuk di taklukkan " , aku yakin itu.
Singkirkan kedua biang keroknya, maka yakinlah masalah yg menimpa lambat laun bakal usai dan pasti ada pesan moral yg terselubung bakal kau jumpai suatu saat, kelak.

Berisi Ekspetasi Tinggi

Gelap. Cahaya yang sedang di perjuangkan belum bisa bersanding. Gagal. Berkali-kali hingga ratusan kali pun belum membuahkan hasil yang di i...